Selasa, 25 Mei 2010

Sukses Tanpa Pendekatan Keluarga


Dedi Nelson Fachrurrozy, General Manager Hotel Madani

Kiprah Dedi Nelson Fachrurrozy di dunia perhotelan, khususnya Kota Medan tidak asing lagi. Soalnya ayah empat anak ini sudah malang melintang di bisnis jasa tersebut. Pindah dari satu hotel ke hotel lain hingga akhirnya Dedi- sapaan akrab suami Furneli Susanti ini menjabat karir puncak sebagai General Manager (GM) Hotel Madani Jalan SM Raja Medan.
Sebelumnya, Dedi tidak pernah membayangkan akan bekerja di hotel, apalagi menjadi General Manager.

S oalnya sejak kecil Dedi pingin menjadi diplomat, luas pergaulan dan banyak pengalaman. Tapi cita-cita itu tinggal kenangan. Karena faktor ekonomi, Dedi rela bekerja apa saja, asalkan pekerjaan itu halal dan membuahkan hasil untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Maklum, Dedi merupakan anak sulung dari lima bersaudara yang menjadi panutan bagi adik-adiknya.
Bermodal beasiswa dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, Dedi hijrah dan menimba ilmu di Universitas Swadaya Medan. Namun, Dedi juga harus bekerja kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebab dia tidak punya sanak keluarga di ibukota Sumatera Utara tersebut. Sambil kuliah di Jurusan Bahasa Inggris Dedi, meluangkan waktu untuk mengajar privat Bahasa Inggris dari satu rumah ke rumah lain. Berikut petikan wawancara wartawan koran ini Adi Candra Sirait dengan General Manager Hotel Madani, Dedi Nelson Fachrurrozy di Hotel Madani Jalan SM Raja Medan, Kamis 20 Mei 2010.

Sudah lama Anda menjadi GM Hotel Madani?
Wah, sudah. Sejak hotel ini berdiri tahun 2007 saya sudah bekerja di hotel bintang empat ini. Bisa dikatakan saya ‘dibajak’ dari tempat saya bekerja dulu di Hotel Grand Angkasa. Tapi prinsip saya, bekerja sesuai dengan profesionalisme. Dimana pun saya bekerja dan hotel apa pun itu, saya tetap bekerja secara profesional dan mengandalkan ilmu dan pengalaman yang saya miliki.
Jadi GM pun saya di Hotel Madani ini, tidak ada hubungannya dengan pendekatan keluarga meskipun saya dengan pemilik hotel sama-sama berasal dari Sumatera Barat. Kesamaan itu hanya kebetulan saja, dan saya tetap bekerja berdasarkan profesionalisme.

Apa perasaan Anda ketika menjabat sebagai GM?
Senang sekali, sebab GM adalah karir puncak di dunia perhotelan. Sebelumnya saya memang sudah berulang kali menjabat sebagai manager, tetapi menjabat General Manager baru kali ini.
Awal mula menjadi General Manager Hotel Madani, saya harus kerja keras, apalagi hotel tersebut baru saja berdiri. Tata letak barang, pengaturan kamar, ruang pertemuan, dan perangkat hotel lainnya tak luput dari pekerjaan saya di awal hotel ini buka. Intinya pekerjaan itu sangat berat, belum lagi mengendalikan 200 karyawan yang memiliki karakter dan sifat yang berbeda satu sama lainnya. Tapi ini tantangan bagi saya, meski pun berat Alhamdulillah saya jalani dengan baik, hingga akhirnya Hotel Madani berdiri seperti sekarang ini. Saya bersyukur dengan konsep hotel Islami, Hotel Madani dapat diterima konsumennya, dan yang menggembirakan lagi dari 172 kamar dan 8 ruang pertemuan setiap harinya tidak pernah sunyi dari pengunjung.

Memang, dari awal cinta-cita Anda ingin bekerja di hotel ya?
Tidak. Pekerjaan ini saya dapatkan seiring dengan bergulirnya waktu. Dari awal saya pingin jadi seorang diplomat, tugas di luar negeri dan luas pergaulan. Tapi itu cuma cita-cita yang tinggal kenangan. Tapi saya tetap bangga karena ternyata adik saya yang menggapai cita-cita diplomat tersebut. Pekerjaan yang saya geluti saat ini, tetap saya syukuri dan merupakan bagian dari rezeki yang diberikan tuhan yang maha kuasa kepada saya dan keluarga. Saya mulai menggeluti pekerjaan di bidang perhotelan sejak tahun 1987, tepatnya setelah selesai menimba ilmu di D-3 Universitas Swadaya Medan.
Lantas bagaimana perjalanan kuliah Anda?
Kuliah saya berjalan lancar. Saat menjadi mahasiswa, saya aktif di Resimen Mahasiswa sehingga di kalangan mahasiswa dan dosen, nama saya tidak asing lagi. Bahkan prestasi akademik saya pun saat kuliah sangat menonjol. Di luar jam kuliah saya terpaksa banting tulang untuk mencari tambahan kebutuhan hidup dengan cara mengajar les privat Bahasa Inggris.

Hal ini saya lakukan dengan niat tidak ingin membebani orang tua, sebab tanggungjawab orangtua saya kala itu sangat berat yakni beban pendidikan empat adik saya dan kebutuhan hidup sehari-hari. Setelah tamat saya disuruh balik ke Batusangkar. Karena sesuai dengan perjanjian ikatan dinas saya harus menjadi PNS di Pemkab Tanah Datar. Tapi kesepakatan itu saya langgar, saya tetap tidak mau pulang ke kampung halaman karena saya tidak ingin jadi PNS. Jujur saja PNS bukan pekerjaan idola dan saya tidak mau menjadi PNS karena banyak sekali birokrasi di sana.
Iseng-iseng saya melamar di Hotel Polonia Medan, kalau itu ada penerimaan tenaga kerja. Namun begitu melamar, alangkah terkejutnya saya ternyata bukan lowongan penerimaan tenaga kerja, tetapi kesempatan untuk mengikuti pelatihan perhotelan yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dengan Kanwil Departemen Tenaga Kerja Indonesia.

Karena tidak punya pekerjaan, akhirnya saya ikut pelatihan itu apalagi setelah saya dalami pelatihan itu merupakan pilot project pelatihan pariwisata di Pulau Sumatera. Tiga bulan mengikuti pelatihan, saya banyak mendaptkan ilmu dan syukurnya lagi saya keluar sebagai peserta pelatihan terbaik. Bermodalkan prestasi inilah akhirnya saya ditawar untuk bekerja di Hotel Tiara Medan.
Apa perasaan Anda kala itu?
Luar biasa senangnya. Apa lagi karir saya di Hotel Tiara terus melejit dari posisi waters (pelayan) hingga Supervisor. Saya termasuk karyawan yang disayangi oleh pimpinan. Saya bekerja di Hotel Tiara dari tahun 1988 hingga 1993, setelah itu pulang kampung ke Sumatera Barat dan bekerja di sebuah hotel milik perusahaan penerbangan PT Garuda Indonesia. Kala itu posisi saya menjadi Duty Manager. Tahun 2008 saya pindah ke Pulau Bintan, padahal kala itu terjadi gejolak krisis moneter. Waktu itu saya sempat tidak tahan bekerja di Pulau Sumatera dan rasanya ingin pindah ke luar negeri. Hampir setiap hari terjadi kerusuhan dan aksi penjarahan di mana-mana. Untungnya saya tidak jadi lari ke luar negeri hingga akhirnya saya balik ke Medan dan bekerja di Hotel Grand Angkasa. Lagi-lagi jabatan saya di hotel bintang lima itu sebagai Manager. Barulah tahun 2007 saya pindah ke Hotel Madani jadi GM Hotel Madani hingga sekarang.

Apa hikmah yang Anda petik dari perjalanan karir ini?
Banyak. Tapi intinya setiap pekerjaan harus dikerjakan secara ikhlas. Bekerja dengan hati maka hasilnya pun akan maksimal dan pikiran pun menjadi tenang. Inilah yang saya lakukan hingga sekarang, makanya meskipun beban pekerjaan di hotel banyak, tetapi saya enjoy saja. Jalani saya pekerjaan dengan baik dan rasa ikhlas. (*)
Bawa Anak Renang

Di tengah kesibukan Dedi Nelson Fachrurrozi mengurusi Hotel Madani, alumni SMA Negeri 1 Batusangkar ini menyempatkan waktu mengajak anaknya berenang. Setiap Minggu, dia bersama istri dan keempat anaknya berenang di Kolam Renang Cemara Asri.
“Saya hampir tiap Minggu bawa anak renang. Jadi sebelum berenang kami terlebih dahulu sarapan pagi di Hotel Madani,” ungkap Dedi.

Dia mengaku tidak segan-segan membawa anaknya ke hotel. Apalagi saat ini dia tinggal di luar hotel, padahal sesuai dengan standar perhotelan, seorang General Manager (GM) harus tinggal di dalam hotel, sehingga mudah mengontrol operasional hotel dengan cepat.
Dedi mengaku, bekerja sebagai GM Hotel Madani harus meluangkan waktu 24 jam. Sebab, hotel merupakan perusahaan jasa. “Jadi jangan heran kalau kadang kala saya pulang dari hotel jam 2 malam, atau bahkan jam 3 malam. Tetapi ada kalanya juga pulang jam 8 malam,” ungkap Dedi.
Nah, untuk berbagi kasih sayang dengan keluarga, makanya Dedi mengagendakan untuk membawa anak dan istrinya setiap hari Minggu berenang. Dengan renang kata Dedi maka pikiran jadi tenang. Beda dengan olahraga lain, ketika kepala berada di dalam air, maka segala pemikiran yang selama ini penat bisa hilang seketika. Inilah alasannya kenapa Dedi senang renang di banding olahraga lainnya. Selain itu, setiap pagi Dedi juga mengantarkan anaknya ke sekolah sambil berangkat ke hotel.
“Pokoknya hotel ini sudah saya anggap menjadi istri pertama, sementara istri kedua adalah keluarga di rumah,” kata Dedi sambil bercanda. Apa pun yang terjadi di hotel, sudah menjadi tanggungjawab Dedi, maka perhatiannya terhadap hotel bintang empat itu harus full.
Apakah anggota keluarga tidak protes dengan sistem kerja Anda yang seperti itu? Kalau dibilang protes, ya tetap protes. Hanya saja, kata Dedi, dia harus bisa memberikan penjelaskan kepada anak dan istrinya bahwa pekerjaan di hotel sangat berat.

“Tapi untunglah karena saya sudah lama bekerja di hotel, keluarga sudah memahami waktu kerja saya. Makanya dalam satu Minggu itu saya harus menyisikan waktu untuk mereka,” ungkap Dedi. (dra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar