Kamis, 21 Juni 2012

“Gulai Paku” Masuk Hotel Berbintang di Medan

Medan, 20/6 (ANTARA) – Makanan khas daerah Pariaman, Sumatera Barat, ketupat gulai pakis atau “gulai paku”, mulai disajikan kepada para tamu di Hotel Madani Medan, salah satu hotel bintang empat di Medan. “Para tamu di hotel kami kini dapat menikmati ketupat “gulai paku” dan “sala bulek”, kata General Manager Hotel Madani, Dedi Nelson Fachrurrozy, di Medan, Rabu. Penyajian makanan khas pesisir Sumatera Barat itu, menurut dia, merupakan bagian dari kebijakan manajemen hotel tersebut untuk memperkenalkan aneka ragaman makanan khas daerah di Sumatera. “Gulai paku” adalah makanan yang cukup populer di Sumatera Barat, terutama di daerah pesisir barat. Gulai ini berbahan dasar daun pakis dengan bumbu santan, lengkuas, cabe rawit hijau, asam kandis, dan kunyit. Gulai paku ini biasa disajikan dengan ketupat. Selain ketupat gulai pakis, pihaknya juga menyajikan makanan khas Pariaman lain, yaitu “sala bulek” atau sala bulat. Untuk membuat gulai pakis dibutuhkan bahan baku, antara lain tepung terigu, ikan atau udang serta kepiting, dan kunyit. Makanan khas Minang ini dibentuk sedemikian rupa menjadi bundar seperti bola pingpong. Sala Bulek, menurut Dedi, juga cocok disajikan bersama ketupat gulai pakis. Dia mengungkapkan, ketupat gulai pakis dan “sala bulek” ternyata banyak mendapat respon dari para tamu hotel bintang empat yang berlokasi di kawasan inti kota Medan itu. “Keberagaman menu makanan khas daerah yang kami sajikan selama ini bertujuan untuk “memanjakan” selera para pengunjung,” ujarnya. Lebih lanjut dia menilai bahwa makanan khas daerah memiliki potensi dan daya tarik tersendiri untuk meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata. “Makanan maupun minuman khas daerah di Indonesia perlu lebih gencar dipromosikan dan dimasukkan dalam paket promosi pariwisata,” ujar dia. Selama ini, menurut Dedi, promosi pariwisata yang berkaitan dengan menu makanan khas daerah masih belum maksimal.***2***(KR-JRD) (T.pso-197/B/S006/S006)

Minggu, 10 Juni 2012

Perjalanan Hidup............Orang Surau Memimpin Manajemen Hotel

Orang Surau Memimpin Manajemen Hotel...... Masa kanak-kanak hingga remaja dijalaninya seperti kebiasaan laki-laki belia di ranah Minang, yang di luar jam sekolah, kesehariannya digembleng kepribadian di surau (mushola). Nilai-nilai Islami yang melekat di dirinya lantas dikolaborasikan dengan kecintaannya pada dunia pariwisata dan perhotelan. Sampai suatu ketika karirnya berjodoh dengan Hotel Madani Medan yang mengusung konsep manajemen Syariah. SEJAK hotel bintang 4 tersebut selesai dibangun dan mulai beroperasi pada Desember 2006 sampai dengan sekarang, dialah general manager-nya atau pimpinan tertinggi manajemen, administrasi, dan operasional hotel yang terletak di Jalan Sisingamangaraja (Simpang Amaliun), nomor 1, Medan itu. Dedi, panggilan kesehariannya, hasil buah pikirannyalah yang men-setting nama, logo, pembangunan, konsep pelayanan dan market, juga komposisi personel Hotel Madani, menjadi satu-satunya hotel di Pulau Sumatera yang mengusung konsep syariah. “Kita ingin mengubah mindset orang yang selama ini yang mengenal hotel ada diskoteknya atau bar yang menyediakan minuman-minuman alkohol. Kami berpikir, bisnis penginapan tak harus selalu dengan cara seperti itu. Awalnya memang ada kekhawatiran, tetapi Islam mengajarkan jangan menyerah untuk usaha yang positif. Setelah dijalankan, Alhamdulillah, respon tamu-tamunya semakin baik,” papar pria kelahiran Limo Kaum, Batusangkar, Sumatera Barat, 25 Maret 1965 itu, kepada MedanBisnis baru-baru ini, di salah satu restoran Hotel Madani. Sebagai GM, Dedi juga bertanggung jawab pada strategi bisnis dan pengembangan keseluruhan sesuai dengan klasifikasi/bintang hotel tersebut. Termasuk pula yang berkaitan dengan misi hotel yaitu harus dapat berpartisipasi dalam pengembangan industri pariwisata di Indonesia, khususnya Medan dan Sumatera Utara. Pariwisata di Kota Medan, menurutnya, kalau ingin berkembang dan memiliki daya tarik, harus ada keseriusan bersinergi antara pemerintah, swasta dan masyarakat. “Tetapi kalau hanya mengandalkan pemerintah, ya begini-begini saja yang kita rasa. Bisnis pariwisata adalah bisnis yang sangat complicated. Ada aspek budayanya, infrastruktur, transportasi, promosi, kenyamanan dan keamanan fasilitas umum, bahkan aspek politik pun termasuk di dalamnya. Lihatlah mengapa di Bali, kayu yang dipotong lalu diukir terus bisa menarik turis? Karena banyak pihak yang mendorong,” urainya lagi. Anak Surau Merantau Bagi orang yang pertama mengenal Dedi, pasti menyangka dia keturunan etnis. Maklum, wajahnya sekilas seperti orang Cina, didukung kulitnya yang putih. Padahal dia asli berdarah suku Minangkabau. Anak sulung dari 5 bersaudara ini lantas mengungkapkan hal ihwal pemberian namanya. Ayahnya, Lam Suhur, dahulu seorang petani ulung yang gemar membaca buku sejarah, salah satunya tentang tokoh Angkatan Laut Inggris, Laksamana Horatio Nelson. Sementara Ibunda Dedi, Rihana, ketika dalam proses melahirkan Dedi, ditangani oleh dokter kandungan bernama dr Dedi. Nama dokter inilah yang kemudian digabung dengan nama belakang tokoh angkatan laut Inggris itu menjadi nama bayi tersebut, Dedi Nelson. “Sebenarnya waktu saya lahir, kakek ingin nama Fachrurrrozy. Maka baru-baru ini saja saya pakai Fachrurrrozy di belakang nama, untuk menghormati kakek,” lanjutnya. Masa kanak-kanak hingga usia remaja dijalaninya sebagaimana kebiasaan laki-laki belia di ranah Minang, yang kesehariannya digembleng di surau (mushola) guna menimba ilmu agama sebagai tuntunan hidup kelak. Tamat dari SMA Negeri 1 Batusangkar, tahun 1984, Dedi mendapat beasiswa dari Yayasan yang dikelola Ibu Nelly Adam Malik untuk melanjutkan kuliah program Diploma III di Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Swadaya Medan. Namun syaratnya, setelah tamat kuliah nanti, ia harus mengabdikan diri di kampung halamannya. Sebenarnya Dedi memendam cita-cita ingin menjadi diplomat. “Tertarik jadi diplomat karena saya terinpirasi pada tokoh-tokoh nasional asal Minangkabau seperti Agus Salim, Buya Hamka, dan Mohammad Natsir. Karena itulah saya dalami Bahasa Inggris. Kalau kita mau maju, kunci awal harus menguasai bahasa asing,” ujarnya. Selain bahasa Inggris, dia juga cukup mahir berbahasa Jerman, Belanda, dan Mandarin. Selama kuliah di STBA Swadaya, Dedi juga aktif dalam Resimen Mahasiswa Mahatara Sumatera Utara dan KNPI. Di tengah kesibukan kuliah dan berorganisasi, ia pun masih bisa meluangkan waktu untuk memberi les private Bahasa Inggris kepada anak-anak SMP. Rampung kuliah tahun 1987, seharusnya Dedi kembali ke Sumatera Barat, mengabdikan diri menjadi guru bidang pariwisata. Tetapi dengan terpaksa ia batalkan rencana pulang kampung itu. Alasannya, ingin mencari pengalaman dan memperluas wawasan terlebih dahulu di perantauan. Meski demikan Dedi tetap tahu diri, agar pihak pemberi beasiswa kuliahnya itu tidak kecewa, maka sampai sekarang secara moril Dedi selalu memberikan sumbangsih pemikiran-pemikirannya untuk kemajuan dunia pariwisata Sumatera barat. Jenjang karir Singkat cerita, untuk mengaplikasikan ilmunya, Dedi melamar ke Hotel Polonia. Ternyata hotel itu bukan sedang membuka lowongan kerja melainkan akan menggelar program pelatihan SDM perhotelan. “Pelatihan itu merupakan agenda pilot project bidang perhotelan untuk wilayah Sumatera Utara,” jelasnya. Pelatihan yang diselenggarakan selama 3 bulan dan diikuti ratusan peserta itu adalah proyek kerja sama antara Dinas Pariwisata, Dirjen Departemen Tenaga Kerja, dan Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI). Dedi mengambil kelas pelatihan food and beverage (FB). Tiba saat penyaringan, peserta yang dinyatakan lulus hanya sekitar 20 orang, termasuk Dedi. Bahkan dia meraih sertifikat peserta lulusan terbaik. “Penyerahan sertifikat kelulusan diselenggarakan di Hotel Tiara Medan. Sebagai lulusan terbaik saya lalu diminta berpidato di hadapan para pejabat Dinas Pawisata, Dirjen Depnaker, Ketua PHRI, dan kawan-kawan peserta. Isi pidato saya tentang mengembangkan bisnis pariwisata di Sumatera Utara. Ada kebanggaan tersendiri waktu itu,” paparnya lagi. Di akhir acara tersebut, pihak HRD Hotel Tiara meminta Dedi supaya datang besok ke kantor. Inilah awal lampu hijau karirnya, dia diterima menjadi waiter di Tiara Convention Centre. Seiring waktu berjalan, Dedi aktif mengikuti program training dan seminar-seminar tentang manajemen perhotelan, leadership, dan sebagainya. Dari waiter lantas diangkat menjadi kapten. Ada sekitar 6 tahunan Dedi di Hotel Tiara dengan jabatan terakhir sebelum resign sebagai supervisor. Kota Bukitinggi, Sumatera Barat, pada tahun 1993 menjadi persinggahan karir Dedi selanjutnya. Di kota Jam Gadang itu, dia dipercaya sebagai Duty Manager Hotel Pusako Bukittinggi. Berjalan 2 tahun Dedi bekerja, Hotel Pusako berganti manajemen, dari Aero Wisata ke manajemen Sol Melial. Tahun 1997, Dedi dipercaya sebagai manajer FB hotel hotel bintang 4 tersebut. Di tengah krisis moneter 1998, seorang atasan Dedi yang warga negara asing, merekrutnya ke Pulau Bintan untuk diposisikan sebagai Manajer FB di hotel, vila, dan restoran yang berada dalam satu kawasan mewah di daerah Propinsi Kepulauan Riau itu. Hampir 3 tahunan Dedi di sana. Peluang karir perhotelan kembali menghampiri, ketika pada April 2001, Dedi lulus interview kerja dan langsung ditempatkan di Hotel Grand Angkasa Internastional Medan. Tugasnya sebagai Manajer Operasional FB. Hotel tersebut ternyata baru mulai beroperasi, sehingga Dedi menjadi team pertama yang membuka (opening team) hotel bintang 5 itu. “Restauran, bar, dan ruangan mettingnya saya yang mula-mula men-setting-nya,” ucapnya. Di masa itu, lanjutnya, General Manajer Hotel Grand Angkasa dipegang oleh James Tay, pria etnis lulusan sekolah perhotelan Swiss. “Pak James guru saya, beliau sangat profesional, banyak memberi saya pelajaran-pelajaran penting perhotelan. Sekarang dia konsultan perhotelan di Malaysia, Singapura, dan Thailand,” sambungnya. Terbilang 5 tahunan karirnya didedikasikan di hotel yang terletak di kawasan Jalan Sutomo Medan itu. Hingga suatu hari di tahun 2006, dia ditawarkan bergabung ke Hotel Madani yang ketika itu gedungnya baru rampung dibangun. Yang mengajak Dedi langsung dari owner Hotel Madani yang juga orang Sumatera Barat. Sejak itulah, tampuk General Manager dipercayakan kepada Dedi sampai sekarang. Sosok pehobi renang, fotografi, dan traveling, yang dalam kesehariannya, usai sholat subuh acap melakukan kegiatan angkat barbel dan joging di sekitar rumahnya itu, di akhir perbincangan mengatakan, baginya setiap orang adalah guru. Maksudnya, banyak pelajaran positif yang bisa dipetik dari siapa pun orangnya. Bekerja dengan hati adalah kunci profesionalisme karirnya agar menghasilkan keikhlasan dan kejujuran. Juga selalu bersyukur kepada Tuhan atas semua karunia yang diberikanNya, melandasi hidup suami Furneli Susanti ini.